Selasa, 29 September 2015

kajian penggawa

Tulisan ini sekelumit tentang Penggawa dalam bahasa Palembang disebut Penggawo, dalam bahasa Lubai disebut Penggawe. Kajian Penggawa ini bukanlah untuk diperdebatkan, kami menulis kajian penggawa hanya sekedar ingin berbagi cerita, berbagi informasi.

Pengertian Penggawa

Penggawa adalah seseorang yang mengetuai/mengepalai sebuah kampung. Penggawa jabatan kepala kampung pada masa pemerintahan sistem marga di Sumatera Selatan. Jabatan Penggawa merupakan pembantu Kerio (Kepala Dusun). Setiap Dusun terdiri dari beberapa kampung. Setiap kampung akan dikepelaia oleh seorang Penggawa. Biasanya seseorang yang menjabat penggawa, akan dipanggil seperti ini Penggawa ditambah nama yang bersangkutan, misalnya Penggawo Ibrahim.

Kata Penggawe diabadikan pada sebuah lagu anak penggawe...

Penggawe kampung 1 Baru Lubai

Pada tahun 1966 sampai dengan 1970, ayah kami Muhammad Ibrahim bin kakek Haji Hasan bin Puyang Aliakim menjadi Penggawe kampung 1 dusun Baru Lubai. Seorang Penggawo mempunyai tugas menjalankan roda pemerintahan pada kampungnya dan melaporkan segala sesuatu yang berkaitan dengan kondisi masyarakat yang ada dikampungnya kepada Kerio. Sebagai penggawe ayah kami sering pergi ke dusun Tanjung Kemala diajak rapat marga oleh Depati marga Lubai suku 1.  Saat itu yang menjadi Kerio dusun Baru Lubai wak Zawawi, masyarakat setempat memanggil beliau dengan sebutan Kerie Zawawi. Adapun yang menjadi Pesirah marga Lubai suku 1, saat itu adalah Depati Haris dari dusun Tanjung Kemala.

Penggawe kampung 1 Kurungan Jiwa

Pada tahun 1968 sampai dengan 1974, paman kami Muhammad Daud bin kakek Wakif bin Puyang Kenaraf menjadi Penggawe kampung 1 dusun Kurungan Jiwa. Sebagai penggawe paman kami sering pergi ke dusun Tanjung Kemala diajak rapat marga oleh Depati marga Lubai suku 1.  Saat itu yang menjadi Kerio dusun Kurungan Jiwa  wak Sofwan, masyarakat setempat memanggil beliau dengan sebutan Keriefuan. Adapun yang menjadi Pesirah marga Lubai suku 1, saat itu adalah Depati Haris dari dusun Tanjung Kemala.

Demikian kajian Penggawa ini, semoga bermanfaat bagi pengunjung dan terima kasih atas kunjungannya ke blog kami.

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom

kajian kerio

Tulisan ini sekelumit tentang Kerio dalam bahasa Palembang, dalam bahasa Lubai disebut Kerie. Kajian Kerio ini bukanlah untuk diperdebatkan, kami menulis kajian kerio hanya sekedar ingin berbagi cerita, berbagi informasi.

Pengertian Kerio

Kerio adalah jabatan kepala dusun pada masa pemerintahan sistem marga di Sumatera Selatan. Setiap marga terdiri dari beberapa dusun dan setiap dusun terdiri dari beberapa kampung. Jabatan Kerio setingkat dengan jabatan kepala desa saat ini. Seorang Kerio bertanggaung kepada Pesirah. Tugas seorang Kerio adalah menjalan roda pemerintahan pada desanya dan melaporkan segala sesuatu kondisi desanya kepada Pesirah. Untuk menjalankan tugas pemerintahan seorang Kerio dibantu beberapa orang Penggawo.

Kerio dusun Baru Lubai

Pada tahun 1960 sampai dengan 1973 pada dusun Baru Lubai yang menjadi Kerio adalah wak Zawawi. Masyarakat setempat biasanya memanggilnya Kerie Zawawi. Beliau memerintah dengan arif dan bijaksana. Semasa beliau menjadi Kerio untuk menjalankan roda pemerintahan dusun dibantu oleh ayah kami Muhammad Ibrahim bin kakek Haji hasan bin puyang Aliakim sebagai seorang Penggawo kampung 1 dan Pangmisan Darlan sebagai Pengawo kampung 2.


Kerio dusun Kurungan Jiwa

Pada tahun 1960 sampai dengan 1973 pada dusun Kurungan Jiwayang menjadi Kerio adalah wak Sofwan Masyarakat setempat biasanya memanggilnya Kerie Safwan. Beliau memerintah dengan arif dan bijaksana. Semasa beliau menjadi Kerio untuk menjalankan roda pemerintahan dusun dibantu oleh pama kami Muhammad Daud bin kakek Wakif bin puyang Kenaraf sebagai seorang Penggawo kampung 1 dan kakak kami Umar Chotob sebagai Pengawo kampung 2.

Demikian kajian kerio semoga bermanfaat bagi pengunjung dan terimakasih atas kunjunganya ke blog kami.

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom

kajian lebai

Tulisan ini sekelumit tentang Lebai Penghulu dalam bahasa Palembang disebut Penggawo, dalam bahasa Lubai disebut Penggawe. Kajian Lebai Penghulu bukanlah untuk diperdebatkan, kami menulis kajian penggawa hanya sekedar ingin berbagi cerita, berbagi informasi.
Pengertian Lebai 
Lebai Penghulu adalah jabatan kuasa hakim pada masa pemerintahan sistem marga di Kesultanan Palembang Darussalam atau saat ini wilayah Sumatera Selatan. Tugas seorang Lebai Penghulu adalah melaksanakan uuruan kaum bidang keagamaan Islam. Diantara tugas-tugas Lebai Penghulu adalah mengurusi pengkafan mayat, menerima dan menyalurkan zakat fitrah.
Undang Undang Simbur Cahaya

Kitab Simbur Cahaya merupakan kitab undang-undang hukum adat, yang merupakan perpaduan antara hukum adat yang berkembang secara lisan di pedalaman Sumatera Selatan, dengan ajaran Islam. Kitab ini diyakini sebagai bentuk undang-undang tertulis berlandaskan syariat Islam, yang pertama kali diterapkan bagi masyarakat Nusantara.

Kitab Simbur Cahaya, ditulis oleh Ratu Sinuhun yang merupakan isteri penguasa Palembang, Pangeran Sido Ing Kenayan (1630—1642 M). Kitab ini terdiri atas 5 bab, yang membentuk pranata hukum dan kelembagaan adat di Sumatra Selatan, khususnya terkait persamaan gender perempuan dan laki-laki.

Bab IV (Aturan Kaum)

Pasal 01

Di dalam dusun pasirah ditetapkan satu Lebai Penghulu yang kuasa hakim, maka Lebai Penghulu itu jadi kepala segala kaum di dalam marganya dan kaum-kaum hendaklah turut perintah Lebai Penghulu.

Pasal 02

Di dalam dusun pasirah ditetapkan satu atau dua Khatib akan tulung atas pekerjaan Lebai Penghulu.

Pasal 03

Di dalam satu-satu dusun pengandang ditetapkan satu atau dua Khatib yang tiada boleh kuasa hukum.

Pasal 04

Pasirah hendak pilih siapa yajg petut jadi kaum di dalam marganya dan bawa pada yang kuasa di dalam batanghari supaya dikirim menghadap seri paduka tuan besar di Palembang serta minta surat cap dari pada paduka Pangeran Penghulu Nata Agama di Palembang.

Pasal 05

Mu’azin, bilal dan marbot tiada boleh dipakai di huluan.

Pasal 06

Hendak Lebai Penghulu serta Khatib-khatib tulung atas pekerjaan pasirah proatin, maka dia orang hendak pelihara buku jiwa di dalam satu-satu dusun dan tulis orang yang kawin dan mati dan perhitungan pajak.

Pasal 07

Seboleh-seboleh hendak pasirah cahari orang yang tahu menyurat bakal jadi kaum.

Pasal 08

Kaum-kaum tiada boleh nikahkan orang, jika tiada dengan izin kepala dusun.

Pasal 09

Tiap-tiap tahun hendak Khatib-khatib kasih salinan buku orang kawin atau mati pada Lebai Penghulunya, maka Lebai Penghulu hendak tiap-tiap tahun kasih salinan buku orang kawin dan mati di dalam marganya pada paduka Pangeran Penghulu Nata Agama di Palembang.

Pasal 10

Dari hari selikur sampai hari-hari tigapuluh bulan puasa, boleh kaum-kaum minta fitrah, jika orang suka kasih satu gantang fitrah satu jiwa, di dalam itu Lebai Penghulu hantar satu gantang di dalam satu rumah pada paduka Pangeran Penghulu Nata Agama, yang lain jadi pemakan kaum-kaum di dalam marga.

Pasal 11

Jika orang suka kasih zakat, boleh kaum-kaum pungut sepuluh gantang di dalam seratus gantang padi, maka dibahagi bagaimana tersebut di bawah ini: - 10 gantang di dalam 100 dihantar di Palembang pada paduk Pangeran Penghulu menjadi pemakan orang miskin. - 30 gantang di dalam 100 pulang pada Lebai Penghulu - 30 gantang di dalam 100 pulang pada khatib-khatib di dusun pengandang - 30 gantang di dalarn 100 menjadi pemakan orang yang pelihara masjid dan langgar.

Pasal 12

Kaum-kaum hendak pelihara masjid, langgar, padasan dan keramat-keramat.

Pasal 13

Orang yang kawin hendak bayar batu kawin satu orangnya setengah rupiah kepada kaum yang nikahkannya.

Pasal 14

Kaum-kaum hendak mandi dan sembahyangkan orang mati, tiada boleh minta pernbayaran melainkan sesuka orang kasih.

Pasal 15

Hendak kaum-kaum mengajar anak-anak di dalam dusun mengaji dan menyurat, tiada dengan pembayaran, melainkan sesuka orang kasih.

Pasal 16

Pasirah dengan Lebai Penghulu hendak pelihara anak yatim piatu di dalam marganya serta pegang terikatnya sampai anak itu umur 14 tahun.

Pasal 17

Jika Lebai Penghulu hendak mengantar fitrah atau zakat di Palembang, hendak pasirah kasih perpat dua orang mata pajak.

Pasal 18

Lebai Penghulu dan Khatib lepas dari aturan pajak dan bebeban dan dari segala pekerjaan marga dan dusun ialah kemit hantar dan berkuli.

Pasal 19

Dari fitrah dan zakat di dalam marga hendak Lebai Penghulu kumpulkan di dalam tangannya dan tentukan gilir dari kaum yang, hantar fitrah atau zakat ke Palembang, tiada boleh kaum dari dusun pengandang milir membawa bahagian dusun melainkan pungutan di dalam marga dihantar oleh suruhan Lebai Penghulu.

Demikian kajian Lebai Penghulu semoga bermanfaat bagi pengunjung dan terima kasih atas kunjungannya ke blgo kami.

Salam hangat dari kami di perantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom

kajian pesirah

Tulisan ini sekelumit tentang Pesirah dalam bahasa Palembang, dalam bahasa Lubai disebut Pesira juga. Kajian Pesirah ini bukanlah untuk diperdebatkan, kami menulis kajian penggawa hanya sekedar ingin berbagi cerita, berbagi informasi.

Pengertian Pesirah

Pesirah (Belanda: margahoofd) adalah kepala pemerintahanmarga pada masa Hindia Belanda di wilayah Zuid Sumatra (Sumatera Selatan). Pesirah merupakan seorang tokoh masyarakat yang memiliki kewenangan memerintah beberapa desa. Istilah pesirah di Sumatera Selatan masih digunakan hingga tahun 1970-an, karena perundang-undangan di Sumatera Selatan masih dipengaruhi oleh peraturan-peraturan yang bersumber dari kebijakan Hindia Belanda.

Pesirah dipilih langsung oleh masyarakat yang waktu pemilihannya selama beberapa hari, karena pemilihannya dilangsungkan tidak serentak untuk tiap desa yang termasuk dalam satu marga. Orang yang telah mempertahankan status pesirah selama waktu yang telah dianggap masyarakat telah lama menjabat sebagai pesirah, biasanya pesirah tersebut diberi gelar pengiran. Pesirah membawahi beberapa desa yang setiap desanya dipimpin kerio (kepala dusun). Kepala desa di tempat kedudukan pesirah diberi gelar pembarab. Di bawah kerio (kepala dusun) ada jabatan penggawo (kepala kampung).

Undang-undang Simbur Cahaya

Aturan Marga dapat ditemukan dalam Undang-undang Simbur Cahaya bagian ke-2. Menurut Undang-undang tersebut, dalam pasal 1 dijelaskan bahwa pemimpin marga adalah pesirah, pesirah memang diangkat Raja (Sultan) namun pesirah tersebut harus disetujui oleh orang-orang dalam marga tersebut. Pada pasal 2 diterangkan bahwa dibawah pesirah, diangkat punggawa marga yang disebut pembarap. Kedudukan pembarap lebih tinggi diatas pengandang, karena pembarap dapat berfungsi sebagai pesirah penganti saat pesirah tidak berada ditempat. Menurut pasal ke-4, pesirah dapat mengangkat dan memberhentikan proatin, punggawa dan kaum atas pengetahuan dan persetujuan pemimpin Batanghari (Sultan).

Sebagai legitimasi, pesirah diperkenankan memiliki cap sendiri. Cap ini sebagai penanda kekuasaan dan juga sebagai pengenal terhadap wilayah lain, misalnya dalam surat-menyurat sebagai legitimasi bahwa surat tersebut resmi. Contoh lain jika ada anggota marga yang hendak mengadakan perjalanan, diwajibkan padanya membawa surat yang telah di cap (pas jalan) oleh pesirah, orang yang tidak membawa pas jalan dapat ditangkap sebagai orang asing. Pesirah dapat pula menolak permintaan pas jalan, jika mendapati ada indikasi orang yang meminta memiliki niat buruk. Jika ada orang jahat dalam wilayah marganya, pesirah dapat menangkap dan memasung orang tersebut, dan menahannya selama dua hari sebelum dibawa ke Ibukota.

Pada saat ini kata pesirah digunakan nama jenis Tabungan pada Bank Sumsel. Pesirah (Penggerak Potensi Daerah). Tabungan Pesirah adalah Tabungan modern dari Bank Sumsel Babel yang mengutamakan layanan dan memberi Anda begitu banyak kemudahan.

Demikian kajian pesirah ini semoga bermanfaat bagi para pengunjung dan terima kasih atas kunjungannya keblog kami.

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom

Lubai suku 1

Tulisan ini sejarah singkat marga Lubai suku 1. Jika kita ingin mengetahui dimana letak kecamatan Lubai yang merupakan eks marga Lubai suku 1, pada peta tidak akan diketemukan. Hal ini dikarenakan ibukota kecamatan Lubai hanyalah merupakan sebuah desa, belum menjadi sebuah kota. Jangankan orang yang bukan berasal dari keturunan suku Lubai, anak keturunan suku Lubai saja yang merantau banyak yang tidak tahu dimana tempat permukiman para leluhurnya.

Penulis akan menguraikan secara singkat sejarah marga Lubai 1 dari masa pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam, sampai dengan pembubaran sistem marga di provinsi Sumatera Selatan. 

Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Dalam Regeering Almanak yang diterbitkan Belanda pada tahun 1870, Keresidenan Palembang terdapat 9 afdeeling, yaitu :
  1. Afdeeling Palembang
  2. Afdeeling Tebing Tinggi
  3. Afdeeling Lematang Ulu dan Lematang Ilir
  4. Afdeeling Komering Ulu, Ogan Ulu dan Enim
  5. Afdeeling Rawas
  6. Afdeeling Musi Ilir
  7. Afdeeling Ogan Ilir dan Belida
  8. Afdeeling Komering Ilir
  9. Afdeeling Iliran dan Banyuasin.
Pembagian wilayah afdeling ini mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun 1872 terjadi peristiwa Regrouping dari 9 afdeeling menjadi 7 afdeeling, dan pada tahun 1878 menjadi 6 afdeeling kemudian dalam Staatblad 1918 Nomor 612 afdeeling menjadi 4 afdeling, yaitu :
  1. Afdeeling Hofdspaats Palembang (Kota Palembang dan sekitarnya)
  2. Afdeeling Palembangsche Boevenlanden (Palembang Hulu)
  3. Afdeeling Komering Ulu dan Ogan Ulu
  4. Afdeeling Palembangsche Benedenlanden (Palembang Hilir).
Pada tahun 1921, melalui Staatblad nomor 465 dan pada tahun 1930 memalui Staadblad nomor 352, Keresidenan Palembang di Sumatera Selatan diubah menjadi 3 afdeeling, yaitu :
  1. Afdeeling Palembang Hilir dibawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Kota Palembang
  2. Afdeeling Palembang Hulu dibawah seorang Asisten Residen berkedudukan di Lahat
  3. Afdeeling Ogan dan Komering Ulu dibawah seorang Asisten Residen berkedudukan di Baturaja.
Sejak tahun 1921, Afdeling Ogan Ilir waktu itu berpusat pemerintahan di Kota Tanjung Raja,  19 Marga Pemerintahan, yaitu :
  1. Marga Pegagan Ilir Suku 1,
  2. Marga Rantau Alai,
  3. Marga Pegagan Ulu Suku 2,
  4. Marga Pegagan Ilir Suku 2,
  5. Marga Pemulutan,
  6. Marga Sakatiga,
  7. Marga Meranjat,
  8. Marga Burai,
  9. Marga Tanjung Batu,
  10. Marga Parit,
  11. Marga Muara Kuang,
  12. Marga Lubuk Keliat, dan
  13. Marga Tambangan Kelekar.
  14. Marga Gelumbang,
  15. Marga Alai,
  16. Marga Lembak,
  17. Marga Kerta Mulia,
  18. Marga Lubai Suku 1
  19. Marga Rambang Empat Suku.
Untuk Onder Afdeeling Lematang Ilir sebagaimana ditentukan oleh Staat Blaad tanggal 27 Juni 1918 No.352, telah mempunyai dewan yaitu Plastslih ke Read atau Lokale Read yang diketahui oleh Controleur, dengan 23 orang anggota yang terdiri dari 21 orang bumi putera ( para demang / ass. Demang dan para pesirah ) dan satu orang bangsa asing serta satu orang bangsa eropa dengan berkedudukan di Muara Enim.


Marga-marga yang termasuk dalam wilayah Lematang Ilir sebagai berikut :

  1. Marga Semendo Darat 
  2. Marga Panang Sangang Puluh 
  3. Marga Panang Tengah Selawi 
  4. Marga Panang Ulung Puluh 
  5. Marga Lawang Kidul 
  6. Marga Tamblang Karang Raja 
  7. Marga Tamblang Palang Puluh Bubung 
  8. Marga Tamblang Ujan Mas 
  9. Marga Tamblang Penaggiran 
  10. Marga Benakat 
  11. Marga Lengie 
  12. Marga IV Petulai Dalam Belimbing 
  13. Marga IV Petulai Dangku 
  14. Marga IV Petulai Curup 
  15. Marga Rambang Dangku 
  16. Marga Sungai Rotan

Marga Rambang Dangku, Rambang Kapak Tengah, Marga Lubai Suku 1, dan Marga Lubai Suku 2, termasuk dalam wilayah pemerintahan Onder Afdeeling Ogan Ulu

Masa Pemerintahan Jepang

Sistem pemerintahan pada masa pemerintahan Jepang adalah sistem sentralisasi. Kepala Pemerintahan Hindia Belanda disebut “Controleur”, maka pada masa pendudukan Jepang disebut “Gonco”. Wilayah yang tadinya dikenal dengan Lematang Ilir, maka pada masa pendudukan Militerisme Jepang dikenal dengan nama “ Lematang Simo Gun” yang berada dibawah “Lahat Seco”.

Pada masa pemerintahan Militerisme Jepang ini, disamping banyak kerugian yang diderita oleh rakyat Indonesia baik lahir maupun bathin, maka terdapat pula hal yang menguntungkan yang kemudian menjadi basis untuk terbentuknya Kabupaten Lematang Ilir Ogan Tengah. Hal yang menguntungkan tersebut ialah Usaha Pemerintah Jepang membentuk wilayah administratif yang baru yaitu Lematang Ogan Tengah, yang kemudian pada masa perang Fisik dikenal dengan nama “Kawedanan Lematang Ogan Tengah yang ibukotanya adalah Prabumulih.

Wilayah administratif Lematang Ogan Tengah meliputi wilayah-wilayah :
  1. Marga Rambang Niru 
  2. Marga IV Petulai Curup 
  3. Marga IV Petulai Dangku 
  4. Marga Sungai Rotan 
  5. Marga Rambang Kapak tengah 
  6. Marga Lubai Suku 1 
  7. Marga Lubai Suku 2 
  8. Marga Alai 
  9. Marga Lembak 
  10. Marga Gelumbang 
  11. Marga Kertamulia 
  12. Marga Tamang Kelekar 
  13. Marga Penukal 
  14. Marga Abab
Masa Kemerdekaan Republik Indonesia

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah merupakan rancangan bahwa Bangsa Indonesia telah melepaskan diri ikatan penjajahan dan sanggup untuk mengatur dirinya sendiri. Oleh karena itu sesuatu yang berbau Feodalisme dan penjajahan harus segera diakhiri dan dihapuskan. Demikian pula dalam bidang pemerintah Kepala Marga yang lama segera diganti dan dipilih oleh rakyat dan ini terjadi pada tahun 1946 disaat memuncaknya perang fisik melawan belanda.

Wilayah-wilayah pemerintahan sebagai warisan dari Hindia Belanda dan Pemerintah Militerisasi Jepang segera diubah dan ini terjadi di wilayah Lematang Ilir dan Lematang Ogan Tengah. Sebagai hasil sidang dari dewan karesidenan Palembang maka wilayah Administratif Lematang Ilir dan Lematang Ogan Tengah masing-masing dengan status Kawedanan yang dikepalai oleh seorang Wedana. Kedua Kawedanan ini kemudian digabung menjadi satu Kabupaten yang dahulu disebut dengan Kabupaten Lematang Ilir Ogan Tengah.

Marga Lubai suku 1 merupakan bagian dari kewedaan Lematang Ogan Tengah, Kabupaten Lematang Ilir Ogan Tengah.  Saat ini eks marga Lubai suku 1 digabung dengan beberapa desa dari eks marga Lubai suku 2 menjadi wilayah kecamatan Lubai, kabupaten Muara Enim.

Kesimpulan

Marga Lubai suku 1 adalah sebuah marga yang sudah ada sejak masa pemerintahan Kesultanan Palembang Darus salam, sampai dengan tahun 1983. Bahwa marga Lubai suku 1, telah mengalami beberapa kali dipindahkan wilayah onder afdeeling pada setiap masa pemerintahan, hal ini sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah masa itu.

Pada tahun 1918, marga suku Lubai 1 termasuk wilayah Onder Afdeeling Ogan Ulu waktu itu berpusat pemerintahan di Kota Batu Raja,  Afdeeling Komering Ulu dan Ogan Ulu, Keresidenan Palembang.

Pada tahun 1921, marga suku Lubai 1 termasuk wilayah Afdeling Ogan Ilir waktu itu berpusat pemerintahan di Kota Tanjung Raja,  Keresidenan Palembang.

Pada tahun 1942, marga suku Lubai 1 termasuk wilayah Administrtif Lematang Simo Gun waktu itu berpusat pemerintahan di Kota  Muara Enim,  Lahat Seco.


Pada tahun 1946, marga suku Lubai 1 termasuk wilayah kewedanaan Lematang Ogan Tengah waktu itu berpusat pemerintahan di Kota Prabumlih, kabupaten Lematang Ilir Ogan Tengah, provinsi Sumatera Selatan.


Pada tahun 1976, marga suku Lubai 1 termasuk wilayah kecamatan Prabumlih waktu itu berpusat pemerintahan di Kota Prabu mulih,  kabupaten Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan.

Semoga kajian lubai suku 1 bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan referensi karangan ilmiah tentang suku Lubai.  Suku Lubai atau disebut jeme Lubai dapat disimpulkan merupakan sub suku Ogan Tengah. Terima kasih atas kunjungan keblog kami. 

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom 

marga sumsel


Pembentukan marga mengacu pada Undang-undang Simbur Cahaya, yaitu suatu kodifikasi ketentuan hukum kerajaan yang berlaku abad ke-17 di wilayah Kesultanan Palembang. Kodifikasi undang-undang itu dilakukan oleh Ratu Sinuhun Sending, permaisuri Sultan Sending Kenayan (1629 – 1636).

Hierarki pemerintahan di bawah sultan terdiri dari daerah-daerah yang dipimpin pejabat setingkat gubernur masa sekarang yang disebut Rangga, Kerangga, atau Tumenggung. Wilayah kekuasaannya disebut Ketemenggungan. Daerah kekuasaan Rangga terdiri beberapa Marga yang dipimpin Pesirah Marga. Para pesirah yang banyak berjasa kepada sultan diberi gelar Adipati atau Depati. Sebuah marga terdiri sejumlah desa yang dipimpin Kerio atau Proatin. Kepala desa yang di desanya terdapat Pesirah tidak disebut Kerio tetapi disebut Pembarap. Kedudukan pembarap sedikit lebih tinggi dari kerio, karena pembarap juga merupakan wakil Pesirah.



Marga
yang berkembang di Sumatera Selatan berasal dari 13 Suku..! Pertambahan ataupun penyebaran penduduk, merupakan salah satu penyebab terjadinya pemekaran suatu marga. Karena pemekaran itu, maka jumlah marga di Sumatera Selatan selalu bertambah dari masa ke masa. Menurut catatan yang dibuat pada tahun 1879
sampai dengan tahun 1932 seluruh marga yang ada di Sumatera Selatan pada waktu itu disebut Karesidenan Palembang berjumlah 175 marga. Pada tahun 1942, menjelang masa kemerdekaan, jumlah itu menjadi 176 marga, sedang pada masa kemerdekaan di awal masa orde baru, tahun 1968, berjumlah 178 marga. Pada tahun 1983, ketika marga-marga dibubarkan,  jumlah seluruh marga di Sumatera Selatan mendekati angka 200.

Marga dipimpin oleh Pesirah sebagai Kepala Marga, Pembarap dan Krio sebagai Kepala dusun, Lebai Penghulu untuk urusan Keagamaan Marga dan ditingkat dusun oleh Khatib dibantu oleh Kaum, Kemit Marga untuk urusan keamanan Marga, Proatin dibaca Perwatin sebagai lembaga musyawarah Marga.
Kearifan lokal yang menjadi landasan peri kehidupan ekonomi, politik, sosial dan budaya masyarakat tercermin dalam pasal - pasal dalam Kitab undang-undang Simbur Cahaya, cerita sejarah adat, adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.  Hal-hal tersebut mengatur masyarakat meskipun secara tidak tertulis. Mengatur tentang tata pemerintahan, norma dan etika sosial adab bujang gadis, adab perkawinan, aturan perekonomian, perdagangan, peternakan, perkebunan, perburuan, pemanfaatan hutan, keagamaan, peradilan.
Dihapuskannya Sistem Pemerintahan Marga di Sumatera Selatan melalui Surat Keputuasn Gubernur Sumatera Selatan No.1539/KPTS/III/1983. tentang penghapusan sistem Marga di Sumatera Selatan, tertanggal 15 Maret 1983. 

Demikian kajian marga sumsel semoga bermanfaat bagi para pengunjung dan terima kasih atas kunjungannya ke blog kami

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom

Selasa, 22 September 2015

marga lubai


Pengertian Marga

Marga adalah suatu kesatuan organis terbentuk berdasar wilayah, dan juga keturunan, yang kemudian dikukuhkan dengan pemerintahan administratif serta ikatan norma-norma yang tidak hanya berupa adat-istiadat tidak tertulis tetapi juga oleh ikatan berupa aturan dalam diktum-diktum yang tertulis secara terperinci pada kitab Undang-Undang Simboer Tjahaya.


Marga secara fungsional memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan sejarah peradaban masyarakat di Sumatera Selatan. Secara tradisional, marga merupakan institusi tertinggi kemasyarakatan setelah lembaga keluarga, kampung dan dusun. Marga dipimpin oleh seorang tokoh yang pada umumnya dikenal dengan sebutan Pasirah.

Dengan kualifikasi tertentu, pemimpin marga disebut pula sebagai Depati dan Pengiran. Seorang kepala marga, untuk dapat disebut sebagai Depati ialah apabila ia telah berhasil dipilih untuk memangku jabatan Kepala Marga paling tidak selama dua kali berturut-turut, sedangkan Pengiran ialah dipilih minimal lima kali berturut-turut.


Marga Lubai

Marga Lubai adalah salah satu kesatuan organis terbentuk berdasar wilayah, pada tahun 1879 sampai dengan1932 di Karesidenan Palembang, berjumlah 174 marga. Pada tahun 1940, menjelang masa kemerdekaan, jumlah itu menjadi 175 marga, sedang pada masa kemerdekaan di awal masa orde baru, tahun 1968, berjumlah 178 marga. Pada tahun 1983, ketika marga-marga dibubarkan, jumlah seluruh marga di Sumatera Selatan mendekati angka 200.

Marga Lubai terletak kecamatan Prabumulih, kabupaten Lematang Ilir Ogan Tengah (Muara Enim), provinsi Sumatera Selatan. Zaman dulu kawasan ini masuk wilayah Kesultanan Palembang Darussalam. Desa-desa diwilayah Sumatera Selatan, dalam sejarahnya memang biasanya berada di tepian sungai. Demikian pula halnya dengan desa - desa Marga Lubai berdiri disepanjang sungai Lubai. Hal ini dikarenakan dulu transportasi menggunakan aliran sungai, sehingga masyarakat lebih senang mendirikan rumah dekat dengan tepian sungai.

Sejarah marga Lubai

Marga Lubai diperkirakan didirikan sejak zaman pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam, zaman pemerintahan Hindia Belanda, era kemerdekaan negara Republik Indonesia. Pada tahun 1983, sistem pemerintahan marga-marga dibubarkan, jumlah seluruh marga di Sumatera Selatan mendekati angka 200.    

Kepala Marga Lubai suku 1 diantaranya : Puyang Depati Subot, Pugok Pengiran Kori, Pugok Pembarap Haji Muhammad Dum menjadi pejabat kepale marga Lubai suku 1 saat negara Indonesia baru merdeka, Pesirah Syarkowi, Pesirah Haris.
Marga Lubai suku 1 terdiri dari : desa Tanjung Kemala, desa Gunung Raja, desa Baru Lubai dan desa Kurungan Jiwa. Marga Lubai suku 2 terdiri dari : desa Pagar Gunung, desa Beringin, desa Aur, desa Prabumenang, desa Karang Agung, desa Pagar Dewa.

Setelah beberapa generasi Marga Lubai suku 1 dan Marga Lubai suku 2 hidup dengan penuh aman dan nyaman, saat ini nama itu hanya kenangan. Karena istilah marga dihilangkan, maka lenyap pula istilah Marga Lubai. Suku Lubai atau disebut juga Jeme Lubai merupakan anak keturunan dari eks marga Lubai. 


Kepala Marga disebut Depati atau Pesirah dihilangkan, Kepala Dusun disebut Kerio diganti menjadi Kepala Desa, Kepala Kampung disebut Penggawa diganti menjadi Kepala Dusun.

Semoga kajian marga Lubai bermanfaat bagi para pengunjung dan terima kasih atas kunjungan keblog kami.

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom 

perkawinan lari

Perkawinan lari terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat yang terjadi dalam masyarakat adat Batak (mangaluwa), Bali (ngerorod, merangkat), Bugis (silariang), Ogan (sebambangan), Lubai (Maling lahi). Sebenarnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran. 

Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama adalah perbuatan berlarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis. Cara melakukan berlarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin lari pada waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama atau si gadis secara diam-diam diambil kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya, atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang. Segala sesuatunya berjalan menurut tata tertib adat berlarian.

Perkawinan lari paksaan (Belanda: schaak-huwelijk, lampung: dibembangkan, ditekep, ditenggang, Bali: melegandong) adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu, atau dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan si gadis dan tidak menurut tata tertib adat berlarian. 

Perkawinan lari bersama biasanya dilakukan dengan mengikuti tata tertib adat berlarian setempat. Di kalangan masyarakat Lampung beradat pepadun setidaknya-tidaknya gadis yang pergi berlarian harus meninggalkan tanda kepergiannya berupa surat atau sejumlah uang, pergi menuju ke tempat kediaman kepala adat bujang, kemudian pihak bujang mengadakan pertemuan kerabat dan mengirim utusan untuk menyampaikan permintaan maaf dan memohon penyelesaian yang baik dari pihak kerabat wanita, lalu diadakan perundingan kedua pihak.

Di lingkungan Dayak Ngaju Kalimantan berlaku adat si gadis mendatangi rumah bujang untuk memaksakan perkawinan atau sebaliknya si bujang mendatangi rumah gadis dengan membawa barang-barang pemberian meminta dikawinkan, jika pihak gadis menolak atau pihak gadis harus mengganti senilai barang pemberiannya dan dapat pula terjadi si bujang ketika berada di rumah gadis dikurung sampai pagi lalu gadis memaksa untuk dikawinkan dengan pemuda itu.

Aplikasi Perkawinan lari
  • Si gadis dilarikan oleh si bujang ke rumah kepala pemerintahan desa. Pada waktu melarikan itu si bujang biasanya dibantu oleh beberapa ssanak saudara si bujang dengan secara rahasia;
  • Saat si gadis itu akan pergi, harus meninggalkan uang yang diberi oleh si bujang tersebut sebanyak yang diminta oleh si gadis dan meninggalkan surat;;
  • Apabila si gadis telah sampai di rumah kepala pemerintahan desa, sanak saudara si bujang memberitahukan kepada pihak keluarga si gadis;
  • Selama si gadis sudah berada di rumah kepala pemerintahan desa, maka si gadis tesebut diberi perlindungan dan tidak boleh diganggu gugat oleh keluarga si gadis untuk diambil kembali;
  • Sanak saudara si bujang mengunjungi rumah si gadis menerangkan kesalahan-kesalahan dan meminta maaf. Dalam bahasa Lubai disebut dudukan kesalahan si bujang
  • Apabila didalam musyawarah keluarga si bujang dan si gadis  telah ada kta sepakat, maka ditentukanlah waktu aqad nikah.
Kesimpulan

Faktor atau alasan yang menyebabkan terjadinya adat kawin lari suku Lubai adalah faktor ekonomi dan faktor tidak adanya persetujuan dari orang tua. Tata-cara kawin lari suku Lubai masa lalu ada dan ditaati oleh masyarakat
suku Lubai. Mereka beranggapan bahwa tata-cara adat kawin lari syah menurut norma sosial yang berlaku pada masyarakat tetapi mencenderai kemaslahatan dan ketertiban masyarakat tersebut. 

Tidak ada nâs yang mengatakan bahwa adat kawin lari itu halal atau haram. Dengan demikian pada dasarnya aturan tersebut adalah mubah dan boleh dilakukan oleh masyarakat suku Lubai. Walaupun demikian, adat kawin lari melanggar norma sosial dalam masyarakat.

Kondisi sosial dan karakter masyarakat pada suatu masa dan tempat berbeda dengan masa dan tempat lain, oleh karena itu perlu dipahami seluruh kondisi sosial suatu masyarakat dalam menetapkan hukum. Dan apa yang terlihat irasional dalam suatu masyarakat, bisa jadi dipandang sebagai keluhuran akal pikiran pada masyarakat lainnya. 

Demi menciptakan masyarakat yang tenteram dan damai terutama dalam berkeluarga, harus ada keterbukaan, dengan adanya sikap saling terbuka tersebut satu sama lainnya bisa saling mengerti keinginan dari masing-masing pihak, maka perselisihan bisa diminimalisir. 


Walaupun adat suku Lubai kawin lari syah menurut hukum Islam, tapi hal ini tidak sesuai dengan etika masyarakat sebagai mahluk sosial karena ada beberapa hak yang dilanggar di dalam pelaksanaan adat  kawin lari.


Semoga kajian perkawinan lari adat pernikahan suku Lubai bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan pertimbangan sanak keluarga suku Lubai, apabila akan melaksanakan kawin lari. Apa yang diperbolehkan menurut hukum Islam marilah kita laksanakan dan apa yang dilarang marilah kita hindarkan. Terima kasih atas kunjungan keblog kami.

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom 

perkawinan campuran

Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang berbeda bangsa, adat, budaya. Undang-undang perkawinan nasional tidak mengatur hal demikian, yang diatur hanya perkawinan antara suami dan istri yang berbeda kewarganegaraan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 57 UU No. 1 tahun 1974. Terjadinya perkawinan menimbulkan masalah hukum antara tata hukum adat dan hukum agama, yaitu hukum mana dan apa yang diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. 

Pada dasarnya hukum adat atau hukum agama tidak membenarkan terjadinya perkawinan campuran. Tapi dalam perkembangannya hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya, sehingga perkawinan campuran itu dapat dilaksanakan.

Menurut hukum adat Batak apabila akan diselenggarakan perkawinan campuran antar suku, adat dan agama yang berbeda, maka dilaksanakan dengan ‘marsileban’, yaitu pria atau wanita yang bukan warga adat Batak harus diangkat dan dimasukkan lebih dulu sebagai warga adat batak dalam ruang lingkup ‘dalihan na tolu’. Jika calon suami orang luar adata Batak maka masuk ke dalam warga adat ‘hula-hula’, dan apabila calon istri yang dari luar adat Batak, maka harus diangkat ke dalam warga adat ‘namboru’. Sehingga perkawinan adat tetap di dalam jalur ‘assymmetrisch connubium’

Dalam hal perbedaan agama antara calon suami dan istri, agar perkawinannya itu sah maka salah satu dari keduanya harus mengalah salah satu yakni dengan cara masuk kedalam salah satu agama si calon suami atau si calon istri. 

Menurut agama Islam perkawinan campuran antar agama di mana calon suami istri tidak bersedia meninggalkan agama yang dianutnya, maka Islam hanya membolehkan pria Islam kawin dengan wanita beragama lain. Di dalam agama Kristen Katolik boleh terjadi perkawinan di mana suami dan istri tetap mempertahankan agama yang dianutnya, hanya saja dengan perjanjian suami atau istri yang beragama Katolik harus berjanji akan mendidik anak-anaknya ke dalam Katolik.

Tinjauan Aspek Hukum Islam

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

اليوم أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لهم والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم إذا أتيتموهن أجورهن (سورة المائدة: 5)

“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya.” SQ. Al-Maidah: 5.

Maksudnya adalah wanita baik-baik, bukan yang suka melakukan perbuatan tercela. Tidak dibolehkan bagi wanita muslimah untuk menikah dengan laki-laki musyrik non muslim, apapun agamanya. 

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم أولئك يدعون إلى النار )سورة البقرة: 221)

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka.” SQ. Al-Baqarah: 221.

Kesimpulan

Menurut hukum Islam seorang muslimah "seorang perempuan Islam" tidak boleh menikah dengan laki-laki non Muslim, Tapi seorang muslimin "seorang laki-laki Islam" boleh menikah dengan seorang wanita non Muslim.

Semoga kajian perkawinan campuran ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan pernikahan anak keturunan suku Lubai, agar tidak bertentang dengan syariat Islam. Apa yang diperbolehkan menurut hukum Islam marilah kita laksanakan dan apa yang dilarang marilah kita hindarkan. Terima kasih atas kunjungan keblog kami. 

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom

perkawinan mandiri

Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental (keorangtuaan) seperti berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan, Sulawesi. 

Bentuk perkawinan ini sesuai dengan UU No. 1 tahun 1974, di mana kedudukan dan hak suami dan istri berimbang, suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Setelah perkawinan suami dan istri pisah dari orang tua dan keluarga masing-masing. Orang tua kedua pihak hanya memberi bekal (sangu) bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebaga harta bawaan ke dalam perkawinan. Sebelum perkawinan orang tua hanya memberi nasihat, petunjuk memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi kehidupan rumah tangga anaknya yang sudah menikah. 

Di dalam masyarkat parental bisa saja terjadi perkawinan ganti suami apabila suami wafat, di mana istri kawin lagi dengan saudara suami atau terjadi perkawinan ganti istri apabila istri wafat, di mana suami kawin lagi dengan saudara istri. Tapi hal ini bukan merupakan suatu keharusan sebagaimana dalam masyarakat patrilinial ataupun masyarakat matrilinial.

Semoga kajian perkawinan mandiri bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan pernikahan adat suku Lubai, agar tidak bertentang dengan syariat Islam. Apa yang diperbolehkan menurut hukum Islam marilah kita laksanakan dan apa yang dilarang marilah kita hindarkan. Terima kasih atas kunjungan keblog kami. 

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom

perkawinan semanda

Pengertian Perkawinan Semanda


Kata semanda /se·men·da/ adalah pertalian keluarga karena perkawinan dengan anggota suatu kaum. Adat semenda, aturan adat bermamak kemenakan menurut garis ibu. Perkawinan semanda pada hukumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat matrilinial, dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Perkawinan ini merupakan kebalikan dari perkawinan jujur. Dalam perkawinan semenda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, malahan sebagaimana berlaku di minangkabau berlaku adat pelamaran dari pihak wanita kepada pihak pria.

Setelah perkawinan terjadi, maka suami berada di bawah kekuasaan istri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semenda yang berlaku. Adapun bentuk perkawinan semenda yakni:

  1. Semanda raja-raja, suami dan istri berkedudukan sama
  2. Semanda lepas, suami mengikuti tempat kediaman istri (matrilokal)
  3. Semanda bebas, suami tetap pada kerabat orang tuanya
  4. Semanda nunggu, suami dan istri berkediaman di pihak kerabat istri selama menunggu adik ipar sampai dapat mandiri
  5. Semanda ngangkit, suami mengambil istri untuk dijadikan penerus keturunan pihak ibu suami dikarenakan ibu tidak mempunyai keturunan anak wanita
  6. Semanda anak daging, suami tidak menetap di tempat si istri melainkan datang sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi seperti burung yang hinggap sementara, maka disebut juga semanda burung.
Di daerah Bengkulu, perkawinan semanda dibedakan semanda beradat dan semanda tidak beradat. Semanda beradat ialah bentuk perkawinan semanda di mana pihak pria membayar uang adat kepada kerabat wanita. Sedangkan semanda tidak beradat ialah pihak pria tidak membayar uang adat, karena semua biaya perkawinan ditanggung pihak wanita. Di daerah Lampung beradat pesisir terdapat istilah semanda mati tunggu mati manuk, di mana suami mengabdi di tempat istri.

Bentuk perkawinan semanda ini tidak berlaku lagi di Indonesia sejak berlakunya UU No. 1 tahun 1974. Yang masih berlaku adalah bentuk perkawinan semanda raja-raja, semanda nunggu, semanda bebas, semanda ngangkit karena tidak ada penerus keturunan wanita atau dalam masyarakat patrilinial semanda ngiken untuk meneruskan keturunan laki-laki bagi keluarga yang tidak mempunyai anak lelaki sebagai penerus keturunan. Pada umumnya dalam bentuk perkawinan semanda kekuasaan pihak istri yang lebih berperanan, sedangkan suami tidak ubahnya sebagai istilah nginjam jago (meminjam jantan) hanya sebagai pemberi bibit saja dan kurang tanggung jawab dalam keluarga.


Ciri-ciri Perkawinan Semanda 

Ciri-cirinya: Eksogami klan, larangan kawin 1 klan. Matrilokal, isteri tidak wajib mengikuti tempat tinggal suami. Dijumpai pada setiap masyarakat adat (terutama minangkabau). Dalam masyarakat patrilineal beralih-alih seperti halnya di Lubai, apabila terdapat keadaan memaksa misalnya anak-anaknya perempuan semua dalam kaitannya dengan masalah warisan-seharusnya yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki tertua, maka diperbolehkan kawin semenda dalam bahasa Lubai disebut ngambek anak. Karena adanya masalah kewarisan ini maka anak perempuan yang ada tidak boleh kawin jujur melainkan harus kawin semenda. Dengan demikian si anak perempuan akan tetap di keluarganya dan tidak akan pindah ke keluarga laki-laki seperti apabila dilakukan kawin jujur. Kemudian anak-anak yang lahir akan mengikuti garis keturunan dari ibunya. 

Aplikasi Perkawinan Semanda
  • Kakek penulis Haji Hasan bin Puyang Aliakim dari desa Kurungan Jiwa menikah dengan nenek Sedunah binti Puyang Abdurrahman dari desa Baru Lubai. Kakek melangsungkan perkawinan semanda dalam bahasa Lubai disebut kambek anak. Oleh kareba kakek Haji Hasan melaksanakan pernikahan adat suku Lubai dengan kambek anak, maka kakek Haji Hasan harus mengikuti nenek kami Sedunah binti Puyang Abdurrahman bertempat tinggal dirumah nenek didesa Baru Lubai. Rumah tempat tinggal kakek dan nenek tersebut adalah warisan Puyang Abdurrahman.
  • Puyang Abdurrahman dari desa Gunung Raja menikah dengan puyang Mesisa binti Puyang Renadi, menikah kembali dengan puyang Mehayah binti puyang Renadi dari desa Baru Lubai. Puyang Abdurrahman melangsungkan pernikahan dengan kambek anak, maka Puyang Abdurrahman harus mengiktui puyang Mehaya binti Puyang Renadi bermukim dirumah Puyang Renadi yang bertempat tinggal di desa Baru Lubai. 
Semoga kajian perkawinan semanda adat suku Lubai bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan pernikahan adat suku Lubai. Apa yang diperbolehkan menurut hukum Islam marilah kita laksanakan dan apa yang dilarang marilah kita hindarkan. Terima kasih atas kunjungan keblog kami.

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom