Syariat
nikah dalam Islam sebenarnya sangatlah simpel dan tidak terlalu rumit.
Apabila sebuah ritual pernikahan telah memenuhi rukun dan
persyaratannya, maka sebuah pernikahan sudah dianggap sah. Namun karena
paradigma budaya yang terlalu disakralkan justru malah menimbulkan
kerumitan-kerumitan, baik sebelum pernikahan ataupun pada saat
pernikahan. Hal ini disebabkan diantaranya karena sesuatu yang telah
menjadi budaya atau adat istiadat.
Adat pernikahan di daerah aliran sungai Lubai adalah adat perkawinan/pernikahan Lubai karena sebagian besar penduduk yang berdiam di daerah ini adalah suku asli Lubai. Prosesi pernikahan adat suku Lubai atau jeme Lubai ada beberapa tahap yang harus dilaksanakan antara lain : Ngule begawi
Pengertian Ngule begawi
Arti ngule begawi adalah bantuan tenaga kerja dari pihak keluarga si bujang kepada pihak keluarga si gadis. Kata ngule berasal dari kata gule atau Gula. Arti dari peribahasa Ada gula, ada semut adalah Orang akan tertarik untuk datang ke tempat yang menjanjikan kesejahteraan. Peribahasa Ada gula, ada semut dapat anda gunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan sebagai suatu perumpamaan yang mempunyai arti Orang akan tertarik untuk datang ke tempat yang menjanjikan kesejahteraan.
Ngule begawi adalah tahapan ketiga sistem perkawinan/pernikahan adat suku Lubai. Adapun yang dimaksudkan dengan ngule dalam arti yang luas adalah memberikan suatu kebaikan, suatu budi dari keluarga si bujang kepada keluaga si gadis. Ngule tidak hanya memberikan bantuan tenaga saja, akan tetapi apa-apa yang dapat memberikan kesan yang baik kepada keluarga si gadis, maka keluarga si bujang akan memberikannya.
Arti ngule begawi adalah bantuan tenaga kerja dari pihak keluarga si bujang kepada pihak keluarga si gadis. Kata ngule berasal dari kata gule atau Gula. Arti dari peribahasa Ada gula, ada semut adalah Orang akan tertarik untuk datang ke tempat yang menjanjikan kesejahteraan. Peribahasa Ada gula, ada semut dapat anda gunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan sebagai suatu perumpamaan yang mempunyai arti Orang akan tertarik untuk datang ke tempat yang menjanjikan kesejahteraan.
Ngule begawi adalah tahapan ketiga sistem perkawinan/pernikahan adat suku Lubai. Adapun yang dimaksudkan dengan ngule dalam arti yang luas adalah memberikan suatu kebaikan, suatu budi dari keluarga si bujang kepada keluaga si gadis. Ngule tidak hanya memberikan bantuan tenaga saja, akan tetapi apa-apa yang dapat memberikan kesan yang baik kepada keluarga si gadis, maka keluarga si bujang akan memberikannya.
Ada pribahasa dalam bahasa Lubai yaitu bahu teke latlat dikarnekan ngule begawi, tapi rasan urung. Pribahasa ini mempunyai arti bahunya sibujang sampai bengkak, namun pernikahan batal.
Ada sebuah komentar dari sahabat kami Ho Yin Tapi biasenye ce kalu rasan dek jadi make akan dihitung gale dan dinilai dengan rupiah, misalnye si bujang dulu waktu ngule 7 kali naek niyoh, niup lampu, masokkan ayam ke reban, nugal, ngetam dll make harus dibayah dengan nilai rupiah dibebankan ke bujang ye nak ngaweni calon kite tadi.
Ada sebuah komentar dari sahabat kami Ho Yin Tapi biasenye ce kalu rasan dek jadi make akan dihitung gale dan dinilai dengan rupiah, misalnye si bujang dulu waktu ngule 7 kali naek niyoh, niup lampu, masokkan ayam ke reban, nugal, ngetam dll make harus dibayah dengan nilai rupiah dibebankan ke bujang ye nak ngaweni calon kite tadi.
Tinjauan Aspek Hukum Islam
Pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pernikahan dalam Islam termasuk hal yang disyariatkan oleh agama. Diantara dalil yang mengsyariatkan nikah adalah dalam Surat Ar-Rum ayat 2: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Islam sendiri tidak menentukan cara dan metode bagaimana sebuah pernikahan itu harus dilaksanakan. Semuanya dikembalikan kepada adat-istiadat yang berlangsung di daerah yang bersangkutan. Islam hanya memberikan batas-batasan terhadap hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika melaksanakan sebuah upacara pernikahan dan memberikan beberapa anjuran di dalamnya (Sabiq, 2002:184-186).
Menurut para ulama’, adat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum syara’ apabila tradisi tersebut telah berlaku secara umum di masyarakat tertentu. Sebaliknya jika tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut dilakukan.
Syarat lain yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. Artinya, sebuah tradisi bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an maupun al-Hadis. Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat. Nash yang dimaksudkan disini aadalah nash yang bersifat qath’i (pasti), yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.
Tradisi-tradisi yang selama ini berjalan di masyarakat adalah bentuk pengejawentahan keinginan masyarakat dalam menciptakan sebuah ritual yang luhur. Keinginan ini bertujuan memberkati sebuah pernikahan akan menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Tradisi yang telah berjalan baik ini seharusnya mendapat perhatian agar tetap dijaga dan dilestarikan.
Kesimpulan
Kondisi sosial dan karakter masyarakat pada suatu masa dan tempat berbeda dengan masa dan tempat lain, oleh karena itu perlu dipahami seluruh kondisi sosial suatu masyarakat dalam menetapkan hukum. Dan apa yang terlihat irasional dalam suatu masyarakat, bisa jadi dipandang sebagai keluhuran akal pikiran pada masyarakat lainnya.
Demi menciptakan masyarakat yang tenteram dan damai terutama dalam berkeluarga, harus ada keterbukaan, dengan adanya sikap saling terbuka tersebut satu sama lainnya bisa saling mengerti keinginan dari masing-masing pihak, maka perselisihan bisa diminimalisir.
Walaupun adat pernikahan suku Lubai ada tahapan ngule begawi menurut hukum Islam tidak ada nashnya, tapi hal ini sesuai dengan etika masyarakat sebagai mahluk sosial, bahwa pelaksanaan adat suku Lubai ini bertujuan memberikan bantuan tenaga. Apabila tidak terlalu memberatkan pihak keluarga si bujang, sangatlah wajar apabila tahapan ini dilakukan sesuai dengan kemampuan yang ada. Tahapan ngule ini telah dilaksanakan sejak masa nenek moyang suku Lubai dahulu, sampai dengan sekarang ini.
Semoga kajian ngule begawi tahapan ketiga pernikahan adat suku Lubai bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan pernikahan adat suku Lubai. Apabila adat ngule begawi diperbolehkan menurut hukum Islam marilah kita laksanakan dan apabila dilarang marilah kita hindarkan. Terima kasih atas kunjungan keblog kami.
Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar