Selasa, 22 September 2015

perkawinan campuran

Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang berbeda bangsa, adat, budaya. Undang-undang perkawinan nasional tidak mengatur hal demikian, yang diatur hanya perkawinan antara suami dan istri yang berbeda kewarganegaraan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 57 UU No. 1 tahun 1974. Terjadinya perkawinan menimbulkan masalah hukum antara tata hukum adat dan hukum agama, yaitu hukum mana dan apa yang diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. 

Pada dasarnya hukum adat atau hukum agama tidak membenarkan terjadinya perkawinan campuran. Tapi dalam perkembangannya hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya, sehingga perkawinan campuran itu dapat dilaksanakan.

Menurut hukum adat Batak apabila akan diselenggarakan perkawinan campuran antar suku, adat dan agama yang berbeda, maka dilaksanakan dengan ‘marsileban’, yaitu pria atau wanita yang bukan warga adat Batak harus diangkat dan dimasukkan lebih dulu sebagai warga adat batak dalam ruang lingkup ‘dalihan na tolu’. Jika calon suami orang luar adata Batak maka masuk ke dalam warga adat ‘hula-hula’, dan apabila calon istri yang dari luar adat Batak, maka harus diangkat ke dalam warga adat ‘namboru’. Sehingga perkawinan adat tetap di dalam jalur ‘assymmetrisch connubium’

Dalam hal perbedaan agama antara calon suami dan istri, agar perkawinannya itu sah maka salah satu dari keduanya harus mengalah salah satu yakni dengan cara masuk kedalam salah satu agama si calon suami atau si calon istri. 

Menurut agama Islam perkawinan campuran antar agama di mana calon suami istri tidak bersedia meninggalkan agama yang dianutnya, maka Islam hanya membolehkan pria Islam kawin dengan wanita beragama lain. Di dalam agama Kristen Katolik boleh terjadi perkawinan di mana suami dan istri tetap mempertahankan agama yang dianutnya, hanya saja dengan perjanjian suami atau istri yang beragama Katolik harus berjanji akan mendidik anak-anaknya ke dalam Katolik.

Tinjauan Aspek Hukum Islam

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

اليوم أحل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حل لكم وطعامكم حل لهم والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم إذا أتيتموهن أجورهن (سورة المائدة: 5)

“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya.” SQ. Al-Maidah: 5.

Maksudnya adalah wanita baik-baik, bukan yang suka melakukan perbuatan tercela. Tidak dibolehkan bagi wanita muslimah untuk menikah dengan laki-laki musyrik non muslim, apapun agamanya. 

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من مشرك ولو أعجبكم أولئك يدعون إلى النار )سورة البقرة: 221)

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka.” SQ. Al-Baqarah: 221.

Kesimpulan

Menurut hukum Islam seorang muslimah "seorang perempuan Islam" tidak boleh menikah dengan laki-laki non Muslim, Tapi seorang muslimin "seorang laki-laki Islam" boleh menikah dengan seorang wanita non Muslim.

Semoga kajian perkawinan campuran ini bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan pernikahan anak keturunan suku Lubai, agar tidak bertentang dengan syariat Islam. Apa yang diperbolehkan menurut hukum Islam marilah kita laksanakan dan apa yang dilarang marilah kita hindarkan. Terima kasih atas kunjungan keblog kami. 

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar