Minggu, 20 September 2015

negakan bangsal

Syariat nikah dalam Islam sebenarnya sangatlah simpel dan tidak terlalu rumit. Apabila sebuah ritual pernikahan telah memenuhi rukun dan persyaratannya, maka sebuah pernikahan sudah dianggap sah. Namun karena paradigma budaya yang terlalu disakralkan justru malah menimbulkan kerumitan-kerumitan, baik sebelum pernikahan ataupun pada saat pernikahan. Hal ini disebabkan diantaranya karena sesuatu yang telah menjadi budaya atau adat istiadat.

Adat pernikahan di daerah aliran sungai Lubai adalah adat perkawinan/pernikahan Lubai karena sebagian besar penduduk yang berdiam di daerah ini adalah suku asli Lubai. Prosesi pernikahan adat suku Lubai atau jeme Lubai ada beberapa tahap yang harus dilaksanakan antara lain :  Negakan bangsal


Pengertian negakan bangsal

Negakan bangsal artinya
mendirikan tenda pesta pengantin. Negakan asal kata tegak. Tenda pengantin adalah tempat perayaan malam hiburan keluarga dan resepsi pernikahan.

Negakan bangsal tahap ke delapan adat pernikahan adat suku LubaiSebelum datangnya hari perkawinan atau akad nikah perlu dilakukan acara gotong-royong atau dalam bahasa Lubai disebut begawi rami-rami. Dalam acara begawi rami-rami negakan bangsal, sohibul hajat menyediakan berbagai macam kue atau juadah untuk keperluan konsumsi bergotong-royong. Pelaksanaan kegiatan gotong-royong biasanya dilakukan dari pagi hari sampai dengan sore hari.


Waktu dan tempat pelaksanaan

Waktu pelaksanaan negakan bangsal biasa 1 minggu sebelum acara pesta pengantin dimulai. Tempat pelaksanaan negakan bangsal pada pekarangan tanah kosong didesa Jiwa Baru, kecamatan Lubai.

Bahan negakan bangsal


Bahan-bahan bangsal pengantin terdiri dari kayu bulat, anyaman daun serdang dan tali akar sehikan. Sanak keluarga dan kaum kerabat akan bergotong royong membawa kayu bulat dan anyaman daun serdang dari rumah-rumah masing-masing. Tradisi ini telah  dilaksanakan sejak masa nenek moyang desa Jiwa Baru secara turun temurun.

Tiang : terbuat dari kayu bulat dengan diameter  10-15 cm. Jenis kayu yang banyak digunakan adalah kayu Manggis  (Garcinia sp) dan kayu Pelawan. 
Kasau : terbuat dari kayu bulat dengan diameter  10-15 cm. Jenis kayu yang banyak digunakan adalah  kayu Pelepang.

Atap : atap bangsal pengantin biasanya terbuat dari anyaman daun serdang yang dianyam, menggunalkan bilah bambu sebagai tulangnya dan dijahit menggunakan rotan yang dibelah. Atap biasa juga terbuat dari daun rotan batang (Calamus zollingerii) yang dianyam, disusun 3 dan diikat dengan rotan.

Dekorasi :  agar bangsal pengantin terlihat indah, maka dibuat dekorasi dari daun kelapa dan daun pohon beringin. Setiap tiang dihiasi dengan daun pohon beringin. Antara tiang ke tiang dipasangkan daun kelapa yang telah dijalin rapi.
 



Tinjauan Aspek Hukum Islam

Pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pernikahan dalam Islam termasuk hal yang disyariatkan oleh agama. Diantara dalil yang mengsyariatkan nikah adalah dalam Surat Ar-Rum ayat 2: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Islam sendiri tidak menentukan cara dan metode bagaimana sebuah pernikahan itu harus dilaksanakan. Semuanya dikembalikan kepada adat-istiadat yang berlangsung di daerah yang bersangkutan. Islam hanya memberikan batas-batasan terhadap hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika melaksanakan sebuah upacara pernikahan dan memberikan beberapa anjuran di dalamnya (Sabiq, 2002:184-186).

Menurut para ulama’, adat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum syara’ apabila tradisi tersebut telah berlaku secara umum di masyarakat tertentu. Sebaliknya jika tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut dilakukan.

Syarat lain yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. Artinya, sebuah tradisi bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an maupun al-Hadis. Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat. Nash yang dimaksudkan disini aadalah nash yang bersifat qath’i (pasti), yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.

Tradisi-tradisi yang selama ini berjalan di masyarakat adalah bentuk pengejawentahan keinginan masyarakat dalam menciptakan sebuah ritual yang luhur. Keinginan ini bertujuan memberkati sebuah pernikahan akan menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Tradisi yang telah berjalan baik ini seharusnya mendapat perhatian agar tetap dijaga dan dilestarikan.

Kesimpulan

Kondisi sosial dan karakter masyarakat pada suatu masa dan tempat berbeda dengan masa dan tempat lain, oleh karena itu perlu dipahami seluruh kondisi sosial suatu masyarakat dalam menetapkan hukum. Dan apa yang terlihat irasional dalam suatu masyarakat, bisa jadi dipandang sebagai keluhuran akal pikiran pada masyarakat lainnya.


Walaupun adat negakan bangsal menurut hukum Islam tidak ada nashnya, tapi hal ini sesuai dengan etika masyarakat sebagai mahluk sosial, bahwa pelaksanaan adat suku Lubai ini bertujuan tolong menolong didalam kebaikan. Negakan bangsal merupakan wujud kebersamaan masyarakat Lubai, bergotong royong memberikan bantuan kepada pihak sohibul hajat berupa tenaga, pikiran dan sarana yang diperlukan.


Semoga kajian Negakan bangsal adat pernikahan suku Lubai bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan pernikahan adat suku Lubai. Apabila diperbolehkan menurut hukum Islam marilah kita laksanakan dan apabila dilarang marilah kita hindarkan. Terima kasih atas kunjungan keblog kami.

Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar