Syariat nikah dalam Islam sebenarnya sangatlah simpel dan tidak terlalu rumit. Apabila sebuah ritual pernikahan telah memenuhi rukun dan persyaratannya, maka sebuah pernikahan sudah dianggap sah. Namun karena paradigma budaya yang terlalu disakralkan justru malah menimbulkan kerumitan-kerumitan, baik sebelum pernikahan ataupun pada saat pernikahan. Hal ini disebabkan diantaranya karena sesuatu yang telah menjadi budaya atau adat istiadat.
Adat pernikahan di
daerah aliran sungai Lubai adalah adat perkawinan/pernikahan Lubai
karena sebagian besar penduduk yang berdiam di daerah ini adalah suku
asli Lubai. Prosesi pernikahan adat suku Lubai atau jeme Lubai ada beberapa tahap yang harus dilaksanakan antara lain : Betepek Barang.
Pengertian Betepek barang
Betepek barang artinya menitip barang. Menitip barang ini dilakukan setelah si bujang menjalin cinta dengan si gadis beberapa lama.
Betepek barang adalah si bujang memberikan sesuatu barang titipan kepada si
gadis pujaan hatinya. Barang tersebut biasanya berupa sehelai kain
perempuan ataupun sebentuk cincin, tergantung dari srata ekonomi si
bujang.
Tahap betepek barang ini merupakan tahap lanjutan dari tahap perkenalan. Betepek barang adalah tahap kedua pernikahan adat suku Lubai. Pada tahap betepek barang, si bujang mengungkap rasa cinta yang mendalam kepada si gadis. Agar hubungan percintaan mereka dapat ditingkatkan kejenjang lebih serius, maka si bujang menitipkan barang kepada si gadis, sebagai simbol keseriusan si bujang. Sebelum acara betepek barang dilaksanakan biasanya si gadis meminta restu dulu dari kedua orang tuanya. Apabila kedua orang tuanya merestui jalinan kasih sayang anaknya, maka tahap ini boleh dilaksanakan. Barang yang diberikan itu, merupakan hanya barang titipan. Apabila terjadi ketidak-cocokan dikemudian hari antara si gadis dan si bujang, maka tersebut boleh diambil kembali.
Beberapa peristiwa masa lalu, terjadi perselisihan antara pihak keluarga si bujang dan si gadis yang mengakibatkan barang tepekan atau titipan itu, di ambil kembali oleh si bujang yang berarti putus pula jalinan kasih antara si bujang dan si gadis. Apabila barang titipan diambil, maka sekaligus putus pula hubungan komunikasi kedua belah pihak.
Tinjauan Aspek Hukum Islam
Pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pernikahan dalam Islam termasuk hal yang disyariatkan oleh agama. Diantara dalil yang mengsyariatkan nikah adalah dalam Surat Ar-Rum ayat 2: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Islam sendiri tidak menentukan cara dan metode bagaimana sebuah pernikahan itu harus dilaksanakan. Semuanya dikembalikan kepada adat-istiadat yang berlangsung di daerah yang bersangkutan. Islam hanya memberikan batas-batasan terhadap hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika melaksanakan sebuah upacara pernikahan dan memberikan beberapa anjuran di dalamnya (Sabiq, 2002:184-186).
Menurut para ulama’, adat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum syara’ apabila tradisi tersebut telah berlaku secara umum di masyarakat tertentu. Sebaliknya jika tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut dilakukan.
Syarat lain yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. Artinya, sebuah tradisi bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an maupun al-Hadis. Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat. Nash yang dimaksudkan disini aadalah nash yang bersifat qath’i (pasti), yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.
Tradisi-tradisi yang selama ini berjalan di masyarakat adalah bentuk pengejawentahan keinginan masyarakat dalam menciptakan sebuah ritual yang luhur. Keinginan ini bertujuan memberkati sebuah pernikahan akan menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Tradisi yang telah berjalan baik ini seharusnya mendapatkan perhatian agar tetap dijaga dan dilestarikan.
Kesimpulan
Kondisi sosial dan karakter masyarakat pada suatu masa dan tempat berbeda dengan masa dan tempat lain, oleh karena itu perlu dipahami seluruh kondisi sosial suatu masyarakat dalam menetapkan hukum. Dan apa yang terlihat irasional dalam suatu masyarakat, bisa jadi dipandang sebagai keluhuran akal pikiran pada masyarakat lainnya.
Pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pernikahan dalam Islam termasuk hal yang disyariatkan oleh agama. Diantara dalil yang mengsyariatkan nikah adalah dalam Surat Ar-Rum ayat 2: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Islam sendiri tidak menentukan cara dan metode bagaimana sebuah pernikahan itu harus dilaksanakan. Semuanya dikembalikan kepada adat-istiadat yang berlangsung di daerah yang bersangkutan. Islam hanya memberikan batas-batasan terhadap hal-hal yang tidak diperbolehkan ketika melaksanakan sebuah upacara pernikahan dan memberikan beberapa anjuran di dalamnya (Sabiq, 2002:184-186).
Menurut para ulama’, adat atau tradisi dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum syara’ apabila tradisi tersebut telah berlaku secara umum di masyarakat tertentu. Sebaliknya jika tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut dilakukan.
Syarat lain yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. Artinya, sebuah tradisi bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an maupun al-Hadis. Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat. Nash yang dimaksudkan disini aadalah nash yang bersifat qath’i (pasti), yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.
Tradisi-tradisi yang selama ini berjalan di masyarakat adalah bentuk pengejawentahan keinginan masyarakat dalam menciptakan sebuah ritual yang luhur. Keinginan ini bertujuan memberkati sebuah pernikahan akan menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Tradisi yang telah berjalan baik ini seharusnya mendapatkan perhatian agar tetap dijaga dan dilestarikan.
Kesimpulan
Kondisi sosial dan karakter masyarakat pada suatu masa dan tempat berbeda dengan masa dan tempat lain, oleh karena itu perlu dipahami seluruh kondisi sosial suatu masyarakat dalam menetapkan hukum. Dan apa yang terlihat irasional dalam suatu masyarakat, bisa jadi dipandang sebagai keluhuran akal pikiran pada masyarakat lainnya.
Demi menciptakan masyarakat yang tenteram dan damai terutama dalam berkeluarga, harus ada keterbukaan, dengan adanya sikap saling terbuka tersebut satu sama lainnya bisa saling mengerti keinginan dari masing-masing pihak, maka perselisihan bisa diminimalisir.
Walaupun adat pernikahan suku Lubai ada tahapan betepek barang, menurut hukum Islam tidak ada nashnya, tapi hal ini sesuai dengan etika masyarakat sebagai mahluk sosial. Betepek barang memberikan simbol keseriusan hubungan percintaan si bujang dengan si gadis, bahkan kedua keluarga si bujang dan si gadis.
Semoga kajian betepek barang adat pernikahan suku Lubai bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi bahan pertimbangan pelaksanaan pernikahan adat suku Lubai. Apabila adat betepek barang ini diperbolehkan menurut hukum Islam marilah kita laksanakan dan apabila bertentangan dengan hukum Islam marilah kita hindarkan. Terima kasih atas kunjungan keblog kami.
Salam hangat dari kami diperantauan...
Amrullah Ibrahim, S.Kom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar